Selasa, 21 Juni 2011

Syahwat


“Kyai, menurut kyai pake jilbab itu kewajiban agama, atau adat istiadat?”  

“Kok menurut saya. Apa sampeyan kira pake jilbab itu kyai yang nyuruh?”  

“Bukan begitu, masalahnya ada yang bilang, pake jilbab itu hanya budaya Arab saja. Bukan perintah agama”.  

“Lha sampeyan setuju mana, jilbab itu perintah agama, atau budaya Arab?”  

“Lha kok, kyai malah nanya saya”.  

“Lha, sampeyan ndak tanya alasan orang yang bilang bahwa jilbab itu budaya Arab?”  

“Ya … katanya, jilbab memang cocok untuk Arab. Yang cocok untuk Arab, belom tentu cocok untuk Indonesia. Mengapa kita harus mengikuti budaya Arab daripada budaya kita sendiri? Begitu katanya”.  

“Lha, orang yang bilang Jilbab itu hanyalah budaya Arab, Islam bukan?”  

“Islam”.  

“Ya salaaaaaam. Kalo dia Islam, mestinya yang dipermasalahkan bukan jilbab. Tapi rok mini. Rok mini itu budaya Endonesa, apa bukan. Tengtop itu asli Endonesa apa bukan. Lha, malah kebaya yang asli Endonesa pada jarang dipake”.  
“Ah kyai, biasa aja lageee”.  

“Enak aja lu ngomong begitu. Ini bukan soal biasa. Tapi soal keadilan. Kalo wanita memilih pake rok mini, pake tengtop ndak diganggu-ganggu, malah disebut modis. Mengapa  perempuan yang memakai jilbab malah dipermasalahkan. Dianggap keArab-Araban?”  

“Lha, kok kyai jadi sewot sama saya. Saya kan cuma ingin minta pendapat saja. Sharing”.  

“Lha yang hadir di muka saya itu sampeyan. Yang mancing saya sewot itu sampeyan. Masa saya sewotnya sama Lis Bam-Bam”.  

“Tapi kalo dilihat, memang jadi kaya Arab sih”.  

“Perempuan berjilbab itu tengah menjalankan perintah agamanya. Mengajak perempuan  menutup aurat dengan memakai jilbab, itu juga sedang menjalankan perintah agama. Ini ndak ada kaitannya dengan persoalan Arab atau ‘ajam. Islam ndak membeda-bedakan Arab atau non-Arab. Sampeyan jangan salah mengerti. Dan jangan pula gampang menerima pendapat orang”.  

“Berarti, saya juga boleh dong ndak langsung menerima pendapat kyai?”  

“Ya silahkan. Sampeyan menerima atau ndak, itu hak sampeyan”.  

“Terus, kalo ada perempuan muslimah memilih ndak memakai jilbab, menurut kyai gimana?”  

“Tergantung”.  

“Lha kok tergantung?”  

“Ya tergantung. Apa dia sudah tahu atau belum tahu perintah mengenakan jilbab itu”.  

“Nah, kalo dia sudah tahu, tapi lebih memilih ndak mengenakan, bagaimana?”  

“Ya tanya perempuan itu dong. Masa saya. Apa mentang-mentang saya ndak pake jilbab?”  

“Ini kan cuma pengandaian kyai. Kyai ngerti ora sih?”  

“Lha itu haknya. Ndak solat dan ndak puasa pun itu pilihannya. Yang penting sudah diingatken, bahwa menutup aurat itu, solat dan puasa itu perintah agama. Bukan perintah kyai. Tinggal nanti urusan sama Tuhan. Jika nanti di akhirat dia dihukum, yang menghukum juga bukan kyai. Dan kalo dia dimasukin surga, yang memasukan juga bukan kyai. Sampeyan juga harus sadar, al-Qur’an sudah terang mengingatkan. Kalo sampeyan memilih jalan ini, akibatnya  begini. Kalo memilih jalan itu, akibatnya begitu. Jadi soal begini dan begitu sudah selesai di dunia ”.  

“Dengan demikian, pendapat yang mengatakan jilbab itu hanya budaya Arab, boleh-boleh saja kan?”  

“Silahken, hanya saja sampeyan harus bisa mempertanggungjawabkan pendapat sampeyan itu kepada Yang Memerintahkan para wanita muslimah mengulurkan jilbabnya. Tuhan sudah ngomong begitu dalam Qur’an surat 33 ayat 59. Dari sekarang, sampeyan harus sudah mempersiapkan jawabannya. Kalo saya, mending kita jujur saja. Jujur mengatakan kalo berjilbab itu adalah perintah agama dan jujur pula mengakui belum siap berjilbab. Semoga Allah Yang Maha Pengampun mema’afkan. Itu jauh lebih santun daripada mengatakan jilbab hanya budaya Arab. Apalagi menuduh jilbab hanya mengekang kebebasan wanita”.  

“Tapi kan, saya cuma mengikuti pendapat orang saja. Yang mengatakan bahwa jilbab itu budaya Arab, bukan saya”.  

“Lha silakan nanti sampeyan adukan begitu, bahwa sampeyan cuma ikut-ikutan. Masalahnya, kenapa sampeyan lebih memilih mengikuti pendapat orang daripada menuruti pesan Tuhan”.  

“Ada yang menjelaskan, bahwa Qur’an surat 33 ayat 59 itu turun karena persoalan syahwat. Banyak laki-laki yang menggoda wanita-wanita muslimah saat itu. Makanya turun ayat tersebut”  

“Lha terus, keberatan sampeyan apa?”  

“Nah, ketika para lelaki itu sudah dapat menguasai syahwatnya, meskipun perempuan pake rok mini, yang ndak masalah”.  

“Mbrakbaaaaalllll! Sampe di mana para lelaki bisa nahan syahwatnya ndak terbesit sekedar larak-lirik? Emang sampeyan bisa njamin kalo duduk di samping wanita pake rok mini mata sampeyan merem dari subuh sampe subuh lagi? Menutup aurat itu bukan semata-mata persoalan syahwat laki-laki yang memandang, tapi juga kehormatan perempuan”  

“Jujur ya kyai, saya sih biasa-biasa aja tuh. Ndak ada perasaan gini-gitu. Masa cuma ngeliat orang pake rok mini aja terangsang”.  

“Meskipun ndak terasa gini-gitu, sampeyan sudah melototin sekitar rok mininya saja sudah masalah. Sudah ndak bisa menjaga pandangan sampeyan”.  

“Yang pentingkan ndak terangsang”  

“Itu kan sampeyan. Apa semua orang kaya sampeyan? Yang menciptakan syahwat saja nyuruh menundukkan pandangan”  

“Lha, berarti kyai juga bisa timbul syahwat dong?”  

“Ndak usah ditanya. Syahwat itu fitrah, ndak akan berubah sebelum langit ambruk. Beruk aja punya syahwat. Masalahnya, ndak semua orang bisa nahan syahwat. Menutup aurat seluruh tubuh, kecuali muka dan tapak tangan bagi muslimah, harus dipahami juga demi kebaikan para lelaki”.  

“Lha buktinya saya ndak merasakan apa-apa melihat perempuan pake rok mini”.  

“Bener nih. Apa sampeyan ndak sedang berpura-pura?”  

“Untuk apa pura-pura?”  

“Sampeyan ndak tertarik?”  

“Sorry”.  

“Ndak kagum keindahannya?”  

“Emoh”  

“Sampeyan ndak merasa berdesir?”  

“Emang angin berdesir”.  

“Ngerasa ndak?”  

“Sudah immun”  

“Lha kalo gitu betul dugaan saya”  

“Dugaan apa?”  

“Sampeyan ndak normal. Sampeyan hanya mirip laki-laki!”  

Ooooooooooooooooooooooo …..

Sungguh terlaluhhhh..



*Copas nih.. ^^

1 komentar:

Terima kasih kunjungannya, Mohon beri masukan untuk postingannya ya...^^